Search

#adnanbuyungnasution Dari Masa Ke Masa


Adnan Buyung Nasution merupakan segelintir praktisi hukum yang peduli dengan rakyat kecil. Laki-laki kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934 adalah seorang jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada tahun 1957 sampai 1961. Selanjutnya, dari tahun 1962 hingga 1968 ia adalah Kepala Humas dan Politik di kantor Kejaksaan Jenderal. Secara bersamaan, ia duduk di Parlemen Indonesia selama periode 1966 sampai 1968.

Seperti yang dikutip dari rimanews.com, Pada tahun 1969 ia diterima di Bar sebagai Advokat dan menemukan Law Firm Adnan Buyung Nasution dan Associates yang menjadi akar dari perusahaan ini. Satu tahun kemudian pada tahun 1970 ia mendirikan LBH, Bantuan Hukum pertama dan Organisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dia memegang posisi Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum Indonesia (KPU) pada tahun 1999, dilakukan pemilihan umum pertama setelah era reformasi. Dia juga menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Dewan Pertimbangan Presiden – Wantimpres) Republik Indonesia pada tahun 2007 – tahun 2009.

 

Sikap empati Adnan Buyung Nasution terhadap rakyat kecil, membuahkan tuduhan subversi.

Adnan Buyung Nasution merupakan segelintir praktisi hukum yang peduli dengan rakyat kecil. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang di prakarsai Abang (Nama panggilannya), sebenarnya sudah ia lontarkan sejak rezim Soekarno. Tapi, gagasannya ditolak karena dianggap terlalu liberal. Ia malah dirumahkan hingga 1966. Alasannya, ia dituduh anti manipol.

 

Bersama Hariman Siregar DKK, Adnan Buyung Nasution juga ditangkap pasca peristiwa Malari 1974.

Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean, kepada sidang pleno DPR (21 Januari 1974), melaporkan sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 buah gedung rusak atau terbakar (termasuk pabrik Coca Cola), dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Dalam kerusuhan dua hari itu jatuh korban 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap.

“Berbagai aksi pembakaran dan pengrusakan oleh massa itu sudah di luar kendali mahasiswa. Begitu sore hari ada kebakaran di Pasar Senen, saya sudah mikir pasti ada yang menunggangi aksi mahasiswa,” kata Hariman Siregar.

 

Adnan Buyung Nasution, advokat senior, menceritakan penggalan kisah hidupnya di masa Soekarno dan Soeharto. Dalam buku Pergulatan Tiada Henti, Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto (Aksara Karunia, 2004), Buyung bercerita pernah menemui Presiden Soeharto untuk menyampaikan gagasan tentang pemberantasan korupsi. Buyung ditemani Harjono Tjitrosoebeno, Erie Sudewo, Fuad Hassan, dan Reen Moeliono. Soeharto didampingi lima orang jenderal.

Buyung menyerahkan dokumen tertulis, lalu menjelaskan maksud mereka. Intinya, Buyung dan kawan-kawan ingin Orde Baru dibersihkan dari praktek korupsi, meminta Soeharto menyeret petinggi militer yang diduga korupsi ke pengadilan.

“Seret jenderal-jenderal yang korup itu ke pengadilan”! Mendengar perkataan Buyung, Soeharto langsung pergi meninggal tetamunya, dan tak kembali lagi. Pertemuan berakhir. Sorenya muncul berita koran yang judulnya jelas: ‘kalau bukan Buyung sudah saya tempeleng’. “Informasi koran dan juga informasi lain mengatakan Soeharto marah betul kepada saya,” kata Buyung seperti tertuang dalam halaman 191 buku Pergulatan Tiada Henti.

 

Bagi pembela, kepentingan klien adalah yang paling utama. Setidaknya demikian yang sering kita saksikan dalam TalkShow Indonesia La wyers Club – dengan segala tingkah polah para lawyers nan parlente itu. Saya masih ingat, bagaimana advokat “papan atas” seumpama Otto Cornelis Kaligis, Hotma Sitompul, Hotman Paris Hutapea, Indra Shahnun Lubis, Junivers Girsang, Assegaf, Tommy Sihotang, dan lain-lain, dengan lantang mengatakan, “KITA MEMBELA UNTUK KEPENTINGAN KLIEN, BOHONG BILA ADA ADVOKAT YANG MEMBELA BUKAN UNTUK KEPENTINGAN KLIEN MEREKA”.

Dan, dari ARSIP yang didapatkan (penggalan Majalah TEMPO, tanggal 23 April 1977), Advokat papan atas lainnya – ADNAN BUYUNG NASUTION – (baik pada masa sekarang dan masa itu), dengan lantang mengatakan, “Saya tidak mau diperbudak Klien”. Ketika seorang tokoh nasional masa itu terlibat Korupsi, Buyung diminta menjadi pembela. Dalam proses selanjutnya, ketika si tokoh yang terlibat korupsi ini meminta agar Buyung mencari celah untuk meringankan hukuman seringan-ringannya, Buyung berkata, “Saya bukan budak klien. Saya kembalikan uangnya, saya buang berkasnya dan saya suruh ia mencari pembela lain”. Dan ini dipublish di Majalah Tempo, lebih kurang 35 tahun yang lalu. Buyung sebenarnya telah memberikan batasan, siapa dan untuk apa pembela itu hadir.

 

Ketua tim pengacara terdakwa kasus dugaan korupsi proyek Hambalang Anas Urbaningrum, Adnan Buyung Nasution, memprotes Komisi Pemberantasan Korupsi yang menghukum kliennya karena melayangkan surat protes kepada Kepala Rumah Tahanan lembaga antirasuah itu.

Buyung pun ingin KPK dibubarkan saja bila tak segera membenahi perlakuan terhadap para tahanannya. “Saya kira cara KPK ini mesti diperbaiki. Kalau terus begini, bubarkan saja KPK,” kata Buyung di kantor KPK, Jakarta, Rabu, 26 November 2014. Namun, dia menyadari banyak masyarakat yang mendukung KPK.

Paling tidak, kata Buyung, pemerintahan Joko Widodo membentuk dewan atau badan pengawas KPK. “KPK bukan malaikat, jangan lupa. Mereka manusia juga, bisa salah,” ujarnya. Protes Buyung itu merespons sanksi KPK terhadap Anas yang tak boleh menerima kunjungan dari keluarga selama sebulan.

 

Dibawah ini (Foto Arsip) Kuasa Hukum Asosiasi Pilot Garuda (APG) Adnan Buyung Nasution memberikan keterangan pers seputar rencana mogok pilot Garuda Indonesia di Jakarta, Rabu (27/7/2011).

Pengacara senior Adnan Buyung Nasution meninggal dunia karena sakit ginjal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan pada Rabu (23/9/2015) sekitar pukul 10.15 WIB.

The post #adnanbuyungnasution Dari Masa Ke Masa appeared first on terselubung.in.



diambil dari: http://ift.tt/1JoPVj4
Blogger Template