Ponsel dan Ironi Bangsa Menunduk - Citizen6, Jakarta: Era globalisasi berdampak pada pesatnya kemajuan teknologi yang mengubah gaya hidup di kalangan masyarakat Indonesia. Sebuah teknologi pada hakikatnya diciptakan untuk membuat hidup manusia menjadi semakin mudah dan nyaman. Salah satunya adalah teknologi komunikasi dengan penggunaan handphone atau ponsel dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan interaksi sosial yang kini banyak terwakili dengan penggunaan ponsel.
Fasilitas pada ponsel tidak hanya terbatas pada fungsi telepon dan short messages service (SMS) saja. Saat ini, ponsel dapat digunakan sebagai sarana bisnis, penyimpan berbagai macam data, sarana musik atau hiburan, bahkan sebagai alat dokumentasi. Hal ini menjadikan ponsel sebagai salah satu perkembangan komunikasi yang paling aktual di Indonesia selama lebih dari 5 tahun terakhir (Nurudin, 2005). Buktinya hingga menyebabkan keuangan negara defisit akibat nilai impor handphone dan sejenisnya mencapai USD 1 miliar hanya dalam waktu 6 bulan (merdeka.com, 14/09/2013). Luar biasa bukan!
Disadari atau tidak, manusia Indonesia begitu bergantung pada ponsel. Apalagi saat ini sedang "booming"smartphone seperti I Phone, Samsung dengan Androidnya dan Blackberry dengan BBMnya. Berbagai merek ponsel menawarkan berbagai keunggulan dan aplikasi yang mampu menyihir kita. Asyik masuk dengan dunia kecilnya bersama dengan benda mati bernama ponsel. Setiap kali kita menggunakan ponsel paling banyak dipergunakan untuk kegiatan berselancar di dunia maya seperti online sosial media dansearch engine.
Belum lagi kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki ponsel lebih dari satu dan terbaru, wajib dibawa dimanapun, yang sepertinya sudah terjangkit "Nomophobia" (No mobile phone phobia) yaitu ketakutan pengguna gadget akan kehilangan atau terpisah darinya.
Teringat kata peribahasa, "Padi menunduk semakin berisi" yang berarti semakin berilmu semakin rendah hati. Peribahasa tersebut tentunya tidak mencerminkan ketika fenomena berjalan menunduk di Indonesia yang menandakan kesopansantunan telah digantikan dengan ponsel yang tergenggam erat di tangan. Dapat dengan mudah kita amati kegiatan menunduk dengan ponsel di tangan menjadi trend masa kini. Seakan tak mau ketinggalan informasi dan era baru berkomunikasi, tetapi kita sendiri melupakan hakikat budaya timur yang menjunjung tinggi interaksi sosial secara langsung.
Budyatna (2005) mengemukakan bentuk pendekatan komunikasi yang paling ideal adalah yang bersifat transaksional, dimana proses komunikasi dilihat sebagai suatu proses yang sangat dinamis dan timbal balik. penggunaan ponsel mempengaruhi proses yang transaksional tersebut. Seringkali komunikasi yang dinamis dan timbal balik dirasakan menurun kualitas dan kuantitasnya pada interaksi tatap muka. Fenomena masa kini umumnya individu lebih memilih memainkan atau menggunakan ponselnya, meskipun ia berada di tengah-tengah suatu kegiatan atau sosialisasi dengan orang-orang disekitarnya. Sungguh ironi!
Berbanding terbalik dengan budaya menunduk yang telah lekat pada masyarakat Jepang yaitu membaca. Membaca merupakan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Tak segan masyarakat Jepang membawa dan membaca buku di setiap aktivitasnya. Mereka menyadari bahwa tak hanya kebutuhan primer manusia seperti pangan, papan dan sandang yang harus terpenuhi, namun juga kebutuhan non primer (non fisik) seperti rohani (kebutuhan otak) melalui membaca buku. Terbukti minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa. Kegiatan membaca akan menambah pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang.
Jepang meyakini melalui pendidikan seperti kegiatan membaca buku akan dapat bangkit dan menjadi negara terkemuka di dunia. Bukankah ini sudah terbukti?. Penggunaan teknologi komunikasi seperti ponsel haruslah dipergunakan dengan bijak. Mengingat ponsel mempunyai dampak negatif bagi kesehatan dan psikologis seseorang serta cyber crime. Jangan sampai masyarakat Indonesia diperbudak oleh teknologi yang seharusnya mampu dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. (Putri Astuti/mar)
Fasilitas pada ponsel tidak hanya terbatas pada fungsi telepon dan short messages service (SMS) saja. Saat ini, ponsel dapat digunakan sebagai sarana bisnis, penyimpan berbagai macam data, sarana musik atau hiburan, bahkan sebagai alat dokumentasi. Hal ini menjadikan ponsel sebagai salah satu perkembangan komunikasi yang paling aktual di Indonesia selama lebih dari 5 tahun terakhir (Nurudin, 2005). Buktinya hingga menyebabkan keuangan negara defisit akibat nilai impor handphone dan sejenisnya mencapai USD 1 miliar hanya dalam waktu 6 bulan (merdeka.com, 14/09/2013). Luar biasa bukan!
Disadari atau tidak, manusia Indonesia begitu bergantung pada ponsel. Apalagi saat ini sedang "booming"smartphone seperti I Phone, Samsung dengan Androidnya dan Blackberry dengan BBMnya. Berbagai merek ponsel menawarkan berbagai keunggulan dan aplikasi yang mampu menyihir kita. Asyik masuk dengan dunia kecilnya bersama dengan benda mati bernama ponsel. Setiap kali kita menggunakan ponsel paling banyak dipergunakan untuk kegiatan berselancar di dunia maya seperti online sosial media dansearch engine.
Belum lagi kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki ponsel lebih dari satu dan terbaru, wajib dibawa dimanapun, yang sepertinya sudah terjangkit "Nomophobia" (No mobile phone phobia) yaitu ketakutan pengguna gadget akan kehilangan atau terpisah darinya.
Teringat kata peribahasa, "Padi menunduk semakin berisi" yang berarti semakin berilmu semakin rendah hati. Peribahasa tersebut tentunya tidak mencerminkan ketika fenomena berjalan menunduk di Indonesia yang menandakan kesopansantunan telah digantikan dengan ponsel yang tergenggam erat di tangan. Dapat dengan mudah kita amati kegiatan menunduk dengan ponsel di tangan menjadi trend masa kini. Seakan tak mau ketinggalan informasi dan era baru berkomunikasi, tetapi kita sendiri melupakan hakikat budaya timur yang menjunjung tinggi interaksi sosial secara langsung.
Budyatna (2005) mengemukakan bentuk pendekatan komunikasi yang paling ideal adalah yang bersifat transaksional, dimana proses komunikasi dilihat sebagai suatu proses yang sangat dinamis dan timbal balik. penggunaan ponsel mempengaruhi proses yang transaksional tersebut. Seringkali komunikasi yang dinamis dan timbal balik dirasakan menurun kualitas dan kuantitasnya pada interaksi tatap muka. Fenomena masa kini umumnya individu lebih memilih memainkan atau menggunakan ponselnya, meskipun ia berada di tengah-tengah suatu kegiatan atau sosialisasi dengan orang-orang disekitarnya. Sungguh ironi!
Berbanding terbalik dengan budaya menunduk yang telah lekat pada masyarakat Jepang yaitu membaca. Membaca merupakan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Tak segan masyarakat Jepang membawa dan membaca buku di setiap aktivitasnya. Mereka menyadari bahwa tak hanya kebutuhan primer manusia seperti pangan, papan dan sandang yang harus terpenuhi, namun juga kebutuhan non primer (non fisik) seperti rohani (kebutuhan otak) melalui membaca buku. Terbukti minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa. Kegiatan membaca akan menambah pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang.
Jepang meyakini melalui pendidikan seperti kegiatan membaca buku akan dapat bangkit dan menjadi negara terkemuka di dunia. Bukankah ini sudah terbukti?. Penggunaan teknologi komunikasi seperti ponsel haruslah dipergunakan dengan bijak. Mengingat ponsel mempunyai dampak negatif bagi kesehatan dan psikologis seseorang serta cyber crime. Jangan sampai masyarakat Indonesia diperbudak oleh teknologi yang seharusnya mampu dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. (Putri Astuti/mar)
[ sumber ]
sumber: http://sudibyoo1.blogspot.com/2013/11/ponsel-dan-ironi-bangsa-menunduk.html